Senin, 26 Januari 2015

            Pagi itu sebelum bel masuk berbunyi, saat sang surya belum menampakkan dirinya dengan jelas di angkasa, aku menuju ke perpustkaan sekolah. Sebenarnya aku hanya ingin berdiam diri di kelas, tetapi karena sahabatku, Dita, mengajakku untuk menemaninya ke perpustakaan sekolah, jadi mau tidak mau aku harus menemaninya.
            “Ra, temenin aku ke perpustakaan sekolah yuk!” kata Dita sambil merengek.
            Tiba-tiba Dita datang dan membuyarkan lamunanku. “Aduh, pagi-pagi gini mau ngapain sih, Dit?”
            “Seperti biasa, kayak kamu gak tau aku aja sih.” Dengan sigap dia langsung menarik tanganku yang sejak tadi menopang daguku.
            Sesampainya di perpustakaan, aku hanya duduk diam menunggunya memilih buku yang akan ia pinjam. Sejujurnya, aku tidak begitu suka membaca cerpen, novel, atau komik sepertinya. Aku lebih suka membaca buku-buku yang berisi hitung-hitungan, fisika misalnya. Bagiku, Dita tidak memiliki rasa jenuh, mungkin karena membaca sudah menjadi hobinya sejak SMP dulu. Aku dulu memang tidak satu SMP dengannya, tapi dia sering bercerita denganku tentang masa-masa sekolahnya dulu di SMP. Jadi, sedikit banyak aku tau tentang kesehariannya dulu.
            “Tara, balik ke kelas yuk! Aku udah dapet buku yang aku cari nih.” Mungkin Dita tau kalau aku mulai bosan menunggunya memilih buku dari raut wajahku.
            “Akhirnya, aku menunggu saat-saat seperti ini. Setelah bertahun-tahun, berabad-abad aku menunggumu memilih buku.” Aku berusaha mencairkan suasana saat itu dengan candaanku yang terkesan garing atau tidak lucu.
            “Oh, jadi kamu selama ini gak ikhlas nemenin aku ke perpustakaan? Kalau begitu besok-besok aku ngajak yang lain aja deh.” Dita menunjukkan ekspresi jengkelnya terhadapku.
            “Enggak kok, aku seneng bisa nemenin kamu ke perpustakaan. Yang tadi cuma bercanda, maaf ya.” Aku tak menyangka dia bisa sejengkel itu karena kata-kata yang kulontarkan.
            “Iya, makasih Tara.” kata Dita sambil menunjukkan senyumnya disertai lesung pipitnya yang manis.
            “Sama-sama Dita.” Aku pun membalas senyumnya.
            Akhirnya aku bisa melihat senyumnya kembali. Mempunyai sahabat kutu buku sepertinya membuatku semakin sering mengunjungi perpustakaan sekolah. Aku yang mulanya tidak gemar membaca, kini aku tertular kebiasaannya gemar membaca. Mulai saat itu, aku lebih banyak membaca dan mengoleksi antologi cerpen.
            Kebiasaanku mengunjungi perpustakaan membuatku sering melewati kelas X MIA 3. Tak ku sadari, aku mulai memperhatikan seseorang yang belum ku tahu namanya. Setiap kali ke perpustakaan, aku selalu memperhatikannya dari kejauhan. Entah dia menyadarinya atau tidak aku tak peduli.
            Suatu hari, aku beranikan diri bertanya kepada anak kelas X MIA 3, Lala. Aku memilih bertanya kepada Lala karena aku yakin dia bisa menjaga rahasia. Ku bertanya padanya sambil menunjuk seseorang yang ku maksud, “Lala, teman kamu yang itu namanya siapa?”
            “Yang mana? Yang itu? Namanya Didi” Jawab Lala dengan tangannya yang menunjuk orang yang ku maksud.
            “Hey, tangan kamu gak usah nunjuk-nunjuk gitu. Ternyata namanya Didi, ya udah aku mau balik ke kelas dulu.” Aku menuju kelasku dengan terburu-buru, takut kalau ternyata Didi menyadari aku menanyakan namanya kepada Lala.
            “Iya, jangan lari-lari. Padahal kelas X MIA 1 sama kelas X MIA 3 kan jaraknya tidak terlalu jauh, kok Tara sampai cepet gitu larinya”
            Aku terlalu cepat berlari meninggalkan Lala sampai tidak menggubris kata-kata yang ia ucapkan. Sesampainya di kelas, aku tersenyum sendiri layaknya orang yang sedang mendapatkan hadiah mobil dari suatu bank ternama. Ternyata senyumanku ini membuat Dita heran, dia langsung menanyakan apa yang terjadi padaku. Akhirnya aku menceritakan semuanya kepada Dita. Dan dia juga hanya bisa tersenyum ketika melihat sahabatnya seperti ini.
            Tak kusadari, ternyata Bapak Budi telah berada di depanku untuk menyampaikan pelajaran hari ini. Aku mencoba memusatkan pikiranku pada pelajaran kali ini, aku berusaha menghilangkan semua yang aku pikirkan tadi. Tapi rasanya itu sangat sulit, bagaikan menghabiskan air di lautan yang sangat luas. Aku tak tau mengapa kejadian itu sangat melekat pada otakku, padahal itu cuma masalah sepele. Hanya mengetahui namanya saja aku sudah senang, apalagi bisa berkenalan dengannya. Tak bisa kubayangkan semerah apa wajahku saat bekenalan dengannya.

***“““

            Tak sengaja aku pulang bersama Didi, akhirnya aku mengumpulkan semua keberanianku untuk mengawali pembicaraan. Aku tak tau harus memulai dengan abjad apa, kata apa, kalimat yang bagaimana. Aku mulai memutar otak dan berpikir. Setelah ku pikir-pikir, aku akan mengawalinya dengan tanya namanya terlebih dahulu. Mungkin agak terkesan kaku, tapi bagaimana lagi, aku harus mencobanya karena kesempatan yang sama tak akan datang dua kali.
“Hai, kamu Didi kelas X MIA 3 kan?” tanyaku agak gugup. Mungkin mukaku mulai memerah juga.
            “Iya, kamu Tara kelas X MIA 1 kan?” jawab Didi secepat kilat.
            “Ternyata kamu tau aku, ku kira kamu orangnya gak mau tau sama orang lain.” Rasanya aku ingin terbang menuju langit ke 7, mungkin karena terlalu bahagia dikenal oleh seseorang yang selama ini aku perhatikan dari kejauhan.
            “Ya jelas tau lah, kamu itu hampir tiap hari ke perpustakaan lewat depan kelasku. Rajin banget jadi anak sekolah.” Didi tersenyum padaku sambil menunjukkan giginya yang berbaris rapi.
            “Dulu aku cuma nemenin temenku cari buku di perpustakaan, lama-kelamaan aku juga ikut mempunyai hobi membaca. Jadinya aku sama dia hampir tiap hari ke perpustakaan buat baca buku.” jawabku sambil melihat ke bawah karena aku tak berani menatap matanya.
            “Menurutku, membaca itu membuat jenuh dan bosan. Melihat segerombol kata sambil duduk diam. Itu sungguh tidak menyenangkan.” Didi seolah menunjukkan ekspresi yang tidak enak dipandang mata.
            “Aku dulu juga beranggapan sepertimu, tetapi setelah terbiasa itu menjadi hal yang menyenangkan. Apalagi jika cerpen yang kamu baca hampir mirip dengan kisahmu, pasti bakal lebih semangat baca cerpennya.”
            Di perjalanan pulang sekolah, aku bercerita banyak. Tentang teman-temannya di kelas X MIA 3, tentang sekolahnya di SMP dulu, tentang beberapa materi pelajaran yang menurutnya agak membosankan, dan masih banyak lagi. Tak kusangka perkenalanku dengannya bisa langsung sedekat ini. Ku rasa, aku mulai menyukai seorang Didi Wibowo kelas X MIA 3. Mungkin memang namanya terlihat singkat dan kuno untuk anak-anak jaman sekarang yang namanya bisa sampai sepanjang jalan raya Pati hingga Tayu. Aku bingung luar biasa, aku terus berpikir apa yang membuatku menyukainya. Tetapi aku tak menemukan jawaban juga, mungkin memang benar, cinta tak butuh alasan. Hanya hati yang mampu merasakannya.
            Sosok laki-laki yang berpostur tubuh tegap, tingginya sekitar 165 cm, berhidung tak terlalu mancung, bermata sipit, bergigi rapi, dan lengkungan senyumnya yang selalu mengingatkanku padanya. Senyum itulah yang membuatku tak bisa mebuang jauh-jauh dirinya dari ingatanku. Semenjak hari itu, senyumnya selalu menjadi salah satu sumber energiku. Gemerlapnya pertemuan ini menghasilkan ledakan yang tidak bisa ku atasi. Sungguh, seorang Didi Wibowo telah memenuhi setiap sudut hatiku.
            Sesampainya di rumah, aku selalu teringat kejadian yang aku alami tadi. Aku menyanyikan lagu ke sana ke mari tanpa menghiraukan orang di sekitarku. Walaupun suaraku pas-pasan, tapi aku tak peduli. Yang penting aku bisa mengekspresikan suasana hatiku lewat lagu tersebut agar merasa lega. Aku bernyanyi sambil memainkan ponselku untuk membuka jejaring sosial facebook yang kini sedang marak-maraknya digunakan oleh remaja sepertiku. Saat aku menemukan nama Didi Wibowo dalam daftar orang yang sedang online, hatiku ingin sekali berkirim pesan dengannya, tetapi tanganku seolah berkata lain. Aku bimbang harus menuruti kata hatiku atau tanganku. Akhirnya aku putuskan untuk mengirimi pesan.
            Ketika aku baru mengetik abjad yang kedua, kulihat kamu sudah offline. Akhirnya ku urungkan niatku untuk berkirim pesan denganmu. Segudang penyesalan kini memenuhi otakku, andai saja aku mengirimimu pesan lebih cepat tadi. Mungkin memang belum waktunya, kan ku tunggu saat namamu kembali muncul dalam daftar orang yang sedang online. Dan akan ku kirim pesan untukmu.

“““

            Seperti biasa, karena aku seorang pelajar, tugasku hanyalah belajar. Saat malam seperti ini, aku harus mengerjakan segudang tugas yang diberikan oleh guru-guruku. Hanya melihatnya saja aku sudah merasa malas memegangnya, apalagi mengerjakannya. Rasanya aku ingin berteriak sekuat tenagaku hingga seluruh dunia mendengarnya. Tetapi kembali lagi, karena aku seorang pelajar, aku harus bisa mengerjakan semua tugas ini.
            Aku mulai mengumpulkan semangatku, perlahan ku pegang pena untuk mengerjakannya. Bagaikan prajurit yang hendak perang dengan musuhnya, aku bertekad bisa mengalahkan tugas ini secepatnya. Karena aku yakin, jika menunda-nunda pekerjaan, pasti akan ada pekerjaan lagi yang datang menghampiri. Dan pada akhirnya, akan semakin banyak tugas yang menumpuk. Ketika mengerjakan tugas, sesekali aku melihat ponselku dan membuka akun facebook milikku. Sungguh, aku tak bisa jauh-jauh dari ponsel walaupun saat belajar. Jika saat belajar di sampingku tidak ada ponselku, aku malah tidak bisa serius belajar. Memang, teknologi sudah mengubah segalanya, contohnya gaya hidup seseorang. Aku yang dulunya tidak punya ponsel saja tidak ada masalah apa pun. Tetapi jika sekarang aku tidak punya ponsel, aku akan sangat gelisah memikirkannya.
            Beberapa saat kemudian, aku merasa jenuh melihat deretan abjad yang memerlukan jawaban tidak hanya satu atau dua kalimat. Kemudian aku memilih untuk keluar rumah dan memandangi bintang yang bertaburan di langit. Kegiatan seperti inilah yang sering ku lakukan agar dapat menghilangkan rasa jenuh. Seringkali aku menghubungkan beberapa bintang agar membentuk pola sesuai imajinasiku. Kali ini aku tak menyangka, aku mengucek mataku beberapa kali. Ku yakinkan diriku sendiri. Tak ku sangka, yang ku lihat di langit tersebut adalah wajah Didi, dia seolah sedang tersenyum padaku sambil mengerdipkan matanya. Sungguh imajinasi yang berlebihan. Lucu sekali, wajahnya seperti mengikuti setiap waktu.
            Saat aku mulai mengantuk, aku kembali masuk ke kamar. Tiba-tiba aku teringat pada tugasku yang belum sempat terselesaikan semuanya. Akhirnya aku berusaha membuka kedua mataku lebar-lebar agar bisa segera menyelesaikannya. Setelah beberapa menit berjalan, tugasku telah selesai semua, ku putuskan untuk lekas tidur. Agar esoknya aku tidak bangun terlalu siang.

***“““

            Aku bangun pagi-pagi sekali, aku mulai menyiapkan perlengkapan yang akan aku bawa ke sekolah nanti. Segera aku mandi agar nantinya tidak terlambat saat sampai sekolah. Aku serasa mandi di Kutub Utara, airnya sedingin es, hingga dingginnya bisa menusuk tulang bagian paling dalam. Setelah selesai mandi, berganti baju, dan sarapan, aku mulai mnggendong tas punggungku dan berpamitan kepada kedua orang tuaku.
Sesampainya di kelas, Dita sudah berada di tempat duduknya. Aku segera meletakkan tasku di tempat dudukku yang jauh dari tempat duduk Dita. Jika tempat dudukku tidak berdekatan dengan Dita, aku lebih bisa serius memperhatikan pelajaran. Karena kalau aku bersamanya, aku bisa meluapkan segala yang ada di pikiranku saat itu juga. Aku akan menjadi orang cerewet yang berbicara dengan kecepatan 250 kilometer per jam, hingga orang yang aku ajak bicara tidak tau apa yang aku bicarakan tadi. Akhirnya aku menghampirinya dengan memasang ekspresi yang bahagia.
            “Kamu kenapa, Ra? Wajahmu pagi ini berseri-seri sekali.” Dita terlihat heran dengan ekspresi yang aku tunjukkan.
        “Aku? Gak kenapa-kenapa kok. Wajahku juga seperti biasanya.” Aku berusaha meyakinkan Dita agar ia tidak penasaran.
            “Ah gak usah bohong, aku itu tau kamu banget. Ada apa sih? Cerita sedikit boleh kan?” Dita berusaha merayuku.
            “Minta diceritain sedikit? Okeh, ceritanya gini, aku gak ada apa-apa kok. Kamu aja yang sok tau.”
            “Gak lucu ah, cepet ceritain yang sejujur-jujurnya!” jawab Dita dengan nada tinggi.
            “Jadi begini, kemarin aku pulang bareng Didi, terus aku cerita banyak sama dia. Orangnya enak diajak ngobrol lho. Terus setelah aku sampai rumah, wajahnya itu serasa menghantui pikiranku setiap saat. Aku hampir tidak bisa berkonsentrasi belajar tadi malam.” Karena usahaku berbohong pada Dita tidak berhasil, akhirnya aku menceritakan padanya.
            “Cieee… Jangan-jangan sebenarnya dia juga mempunyai perasaan kepadamu?”
            “Itu tidak mungkin.” Aku berusaha mengelak dari perkataan Dita.
         “Bisa jadi lho. Buktinya kemarin kamu ditemenin pulang. Jarang-jarang Didi pulang bareng temen perempuannya.” Dita seolah menunjukkan ekspresi yang berusaha meyakinkanku.
            “Ah tidak, mungkin saja dia pernah pulang bareng temen perempuannya, tapi kamu tidak tau. Aku tak mau salah mengartikan sikapnya, mungkin saja dia bersikap seperti itu kepada semua temen peempuannya. Kan kita gak tau.” Aku tak mau terlihat sangat mengharapkan Didi di depan Dita.
            “Ya udah, kita tunggu aja apa yang akan terjadi selanjutnya. Kita buktikan siapa yang benar, oke!” Dita memasang ekspresi penuh percaya diri.
            “Oke!” jawabku sambil mengerdipkan mata.
Ku lihat jam dinding menunjukkan pukul 7 tepat. Tiba-tiba bel masuk berbunyi, aku segera duduk di tempat dudukku dan bersiap menerima pelajaran untuk hari ini.

***“““

            Pelajaran pagi ini terasa berlalu begitu cepat, mungkin memang aku yang terlalu bersemangat hari ini. Dan akhirnya yang ditunggu oleh para siswa pun datang, yaitu saat pulang. Setelah bel empat kali berbunyi, siswa-siswi berhamburan keluar kelas sambil menenteng sepatu yang diambilnya dari rak sepatu depan kelasnya masing-masing. Begitu juga aku, setelah selesai memakai sepatu, aku pulang sendirian. Awalnya aku ingin mengajak Dita pulang, tetapi ternyata dia ada acara mengerjakan tugas kelompok dengan Liana. Aku pun melewati jalan penuh debu yang dilewati oleh kendaraan-kendaraan bermotor dan truk-truk pengangkut tebu. Setelah ku lihat ke depan, ternyata ada Didi yang tengah berjalan. Sebenarnya aku ingin menghampirinya, tetapi aku tak cukup berani untuk melakukan itu.
            Akhirnya aku memperlambat langkahku agar jarakku dengan Didi semakin bertambah. Tapi setelah Didi menengok ke belakang, dia melihatku. Didi pun menghentikan langkahnya dan menungguku berjalan.
            “Hai, kok malah berhenti sih.” Aku menyapa Didi dengan kata yang terkesan sederhana.
            “Aku kan nungguin kamu. Rasanya kasihan ngelihat kamu berjalan sendiri kayak orang hilang.” Ledeknya sambil menjulurkan lidahnya yang panjang.
            “Aku kan gak anak kecil lagi, yang takut pulang sekolah sendirian.”
            “Mentang-mentang udah SMA, gak mau dikatain anak kecil lagi.”
            “Ya iyalah, gini-gini aku udah umur 16 tahun lho.”
            “Ngaku-ngaku, masih 15 tahun lah. Ulang tahunmu kan tiga bulan lagi.”
            “Ya nggak apa-apa, tinggal sebentar lagi kok.”
            Selama perjalanan pulang, kita saling mengejek. Aku nyaman dengan posisiku saat ini, hanya menjadi seseorang yang kadang berada di dekatmu, sambil mendengarkan merdunya suaramu dan renyahnya tawamu. Aku tak ingin lebih, bisa bersamamu seperti ini saja aku sudah bersyukur.
            “Terima kasih udah nganterin aku pulang.” Ucapku di depan pintu pagar rumahku.
            “Siapa juga yang nganterin kamu pulang, cuma gak sengaja nemenin aja kok.”
            “Iya-iya aku tau, sampai jumpa besok.”
            “Iya.” Didi memperlihatkan lengkungan bibir yang membentuk senyum manisnya itu.
            Segera ku buka pintu rumah, ku letakkan sepatu di raknya, ku cuci tangan dan kakiku, lalu masuk kamar. Aku tak menyangka dia tau jika aku berulang tahun 3 bulan lagi. Rasanya hati ini berbunga-bunga. Tapi setelah dia mengatakan bahwa dia tidak sengaja nemenin aku pulang sekolah, rasanya hati ini seperti teriris. Kali ini aku berusaha meyakinkan diriku, bahwa hanya aku yang menyukainya, sedangkan dia tidak menyukaiku.
            Bahkan akhir-akhir ini, aku juga mendengar gosip bahwa Didi menyukai teman sekelasnya. Aku tak tau siapa orang itu dan kebenaran tentang gosip tersebut. Yang jelas, gosip itu membuatku semakin yakin bahwa ia tidak mempunyai perasaan apapun terhadapku. Aku memang bukan siapa-siapa baginya, tapi rasa cemburu yang membakar hatiku sungguh tak bisa ku tutupi. Tanpa sadar air mataku pun perlahan-lahan membasahi pipiku. Aku tak tau mengapa aku bisa se-cengeng ini sekarang, padahal dulu aku jarang sekali menangis.
            Tak lama kemudian, nama Didi muncul dalam daftar pesan facebook. Aku tak yakin seorang Didi berkirim pesan facebook denganku. Aku pun mulai tersenyum dan mengusap air mataku. Kata-katanya jauh berbeda, di facebook ia banyak menggeluarkan kata-kata gombal yang membuatku semakin bingung. Sungguh aku takut salah mengartikan semua kata-kata dan sikapmu selama ini.
            Setelah hari itu, aku dan Didi mulai sering berkirim pesan facebook. Kata-katanya kadang membuatku ingin melayang, tapi terkadang juga membuatku seperti disambar petir. Semua ini membuatku pusing tujuh keliling. Sekarang, aku sedang ketakutan. Aku takut kamu pergi ketika aku mulai meletakkanmu di sudut hatiku paling dalam.
            Sekarang, pesan facebook dari Didi seakan menjadi candu bagiku. Rasanya ada yang hilang jika sehari saja kita tidak berkirim pesan. Semoga saja bukan hanya aku yang merasakan candu ini. Aku ingin dia juga sepertiku yang selalu merindukannya setiap waktu. Berkenalan dengannya ternyata bukan hal yang mudah. Aku merasa dia terlalu sempurna untukku. Aku hanya bisa melamunkan suatu hari nanti kita bisa lebih dari sekedar teman bercanda. Mungkin itu tak akan terjadi, karena aku sadar bahwa aku bukan siapa-siapa di matanya.

***“““

            Tiga bulan telah berlalu, hari ulang tahunku sudah di depan mata. Aku ingin Didi adalah orang pertama yang mengucapkan selamat atas bertambahnya umurku. Sungguh kali ini aku sangat berharap. Aku tidak meminta dianggap sebagai seorang yang istimewa, aku cuma meminta ucapan selamat darinya, itu saja sudah lebih dari cukup. Semoga saja, hari yang hanya datang setahun sekali ini akan menjadi hari yang indah. Esok hari adalah hari yang kutunggu, hari dimana aku sudah berumur 16 tahun. Saat aku membuka mataku esok hari, aku harap ucapan dari Didi sudah dikirimkan melalui pesan facebook atau media yang lain.
            Ketika aku membuka mataku pagi-pagi sekali sebelum ayam berkokok, aku segera mengambil ponselku. Ku lihat tidak ada pesan apapun dari Didi. Sungguh, rasanya seperti ditusuk-tusuk dengan anak panah. Mungkin memang aku yang berharap terlalu tinggi padanya. Ingin ku salahkan diriku sendiri, mengapa aku mengharapkan hal yang tidak akan mungkin terjadi. Menjadi orang pertama yang mengucapkan selamat ulang tahun? Itu hanyalah mimpi semata. Pada kenyataannya, semua sungguh berbeda 180 derajat. Beberapa jam kemudian, datanglah ucapan darinya, sangat singkat tapi cukup berkesan bagiku. Deretan huruf H, B, dan D itu terlihat berkesan karena pengirimnya adalah seseorang yang istimewa yaitu Didi Wibowo.
            Segera aku siap-siap untuk pergi ke sekolah. Banyak orang memberikan ucapan selamat dengan berbagai embel-embel doa yang menyertai. Aku juga menceritakan pada Dita sahabat karibku tentang harapanku yang tidak terwujud.
            “Sabar, Ra. Kebanyakan laki-laki emang gitu. Kurang peka terhadap perasaan orang lain.”
            “Iya, memang aku yang berharap terlalu tinggi. Aku tak menyadari posisiku sekarang hanyalah teman bercanda baginya, tidak lebih.” Aku mencoba memberikan tawa palsuku pada Dita.
            “Mungkin saat ini memang hanya teman bercanda, tapi besok-besok kan bisa jadi lebih.”
            “Ah sudahlah, aku tidak mau mengharapkan sesuatu yang tak pasti lagi.”
Andaikan aku laki-laki, aku akan mengungkapkan perasaanku segera. Namun sayang, aku hanya seorang perempuan. Di negaraku, kebanyakan perempuan itu gengsi jika mengungkapkan perasaan terlebih dahulu. Akhirnya aku mengikuti adat istiadat yang ada. Memendam perasaan yang sama sulitnya dengan memecahkan soal matematika rumit yang memerlukan rumus panjang serta logika yang bagus.

***“““

            Beberapa bulan kemudian, hubunganku dengan Didi memang sangat dekat. Kita saling berbagi cerita lewat BlackBerry Messenger yang sekarang bisa digunakan lewat Android.  Jika dikatan teman dekat, mungkin ini lebih dari sekedar teman dekat. Aku tak tau harus mendefinisikan seperti apa hubungan kita selama ini. Suatu ketika, Didi mengirimkan secarik lirik lagu padaku. Walaupun hanya berupa deretan huruf, aku sudah cukup senang. Aku pernah meminta untuk dinyanyikan sebuah lagu, tapi ia menolak permintaanku tersebut. Aku terus memaksanya, tapi usaha yang kulakukan tetap tidak memberikan efek apapun padanya. Ia tetap pada keputusannya, yaitu menolak permintaanku.
            Tak sengaja saat aku melihat pembaruan, aku melihatnya bersahut-sahutan Personal Message yang biasa disingkat PM dengan Bela. Aku tak tau apa yang menyebabkannya, jika dilihat dari kata-katanya itu cuma kata-kata biasa, tapi yang jelas aku sungguh terbakar api cemburu. Tak sengaja air mata jatuh bercucuran membasahi pipiku. Air mata itu jatuh bukan karena inginku, tapi karena perasaanku. Tisu pun menjadi sahabat yang setia menemaniku di saat-saat seperti ini.
            Aku juga hanya membalas BlackBerry Messagemu dengan 1, 2, atau 3 huruf saja. Akhirnya dia bertanya mengapa aku bersikap seperti itu. Aku tak ingin mengatakan apa yang sebenarnya terjadi padaku. Aku ingin doa menyadarinya sendiri, menyadari bahwa sesungguhnya aku cemburu. Aku tak tau, semenjak mengenalmu, aku banyak merasakan bahagia, tapi juga banyak merasakan kepedihan mencintai.
            Suatu hari, Didi mengungkapkan padaku tentang perasaanya. Dia mengatakan bahwa sebenarnya ia juga menyukaiku. Aku sungguh senang mendengarnya, tetapi kebahagiaan itu tidak berlangsung lama setelah mendengar bahwa ia akan pindah ke luar kota. Bagaikan disambar petir. Aku tak bisa membayangkan tiap hari tanpa melihat senyumnya yang selalu aku cari setiap pagi. Aku sangat terluka mengetahui kamu tak akan pernah jadi siapa pun, aku juga tak akan pernah jadi siapa-siapamu. Tapi aku yakin, jika memang jodoh, kita akan dipertemukan kembali oleh Yang Maha Kuasa di waktu yang tepat dan tempat yang tak pernah kita bayangkan.
            Terima kasih Pangeran pengundang tawa dan tangisku. Aku bersyukur bisa mengenalmu, mencintaimu, memimpikanmu, ataupun hanya sekedar membawa namamu dalam doa. Semoga kita bertemu di lain waktu. J

0 komentar:

Posting Komentar