Pagi
itu sebelum bel masuk berbunyi, saat sang surya belum menampakkan dirinya
dengan jelas di angkasa, aku menuju ke perpustkaan sekolah. Sebenarnya aku
hanya ingin berdiam diri di kelas, tetapi karena sahabatku, Dita, mengajakku
untuk menemaninya ke perpustakaan sekolah, jadi mau tidak mau aku harus
menemaninya.
“Ra,
temenin aku ke perpustakaan sekolah yuk!” kata Dita sambil merengek.
Tiba-tiba
Dita datang dan membuyarkan lamunanku. “Aduh, pagi-pagi gini mau ngapain sih,
Dit?”
“Seperti
biasa, kayak kamu gak tau aku aja sih.” Dengan sigap dia langsung menarik
tanganku yang sejak tadi menopang daguku.
Sesampainya
di perpustakaan, aku hanya duduk diam menunggunya memilih buku yang akan ia
pinjam. Sejujurnya, aku tidak begitu suka membaca cerpen, novel, atau komik
sepertinya. Aku lebih suka membaca buku-buku yang berisi hitung-hitungan,
fisika misalnya. Bagiku, Dita tidak memiliki rasa jenuh, mungkin karena membaca
sudah menjadi hobinya sejak SMP dulu. Aku dulu memang tidak satu SMP dengannya,
tapi dia sering bercerita denganku tentang masa-masa sekolahnya dulu di SMP.
Jadi, sedikit banyak aku tau tentang kesehariannya dulu.
“Tara,
balik ke kelas yuk! Aku udah dapet buku yang aku cari nih.” Mungkin Dita tau
kalau aku mulai bosan menunggunya memilih buku dari raut wajahku.
“Akhirnya,
aku menunggu saat-saat seperti ini. Setelah bertahun-tahun, berabad-abad aku
menunggumu memilih buku.” Aku berusaha mencairkan suasana saat itu dengan candaanku
yang terkesan garing atau tidak lucu.
“Oh,
jadi kamu selama ini gak ikhlas nemenin aku ke perpustakaan? Kalau begitu
besok-besok aku ngajak yang lain aja deh.” Dita menunjukkan ekspresi jengkelnya
terhadapku.
“Enggak
kok, aku seneng bisa nemenin kamu ke perpustakaan. Yang tadi cuma bercanda,
maaf ya.” Aku tak menyangka dia bisa sejengkel itu karena kata-kata yang
kulontarkan.
“Iya,
makasih Tara.” kata Dita sambil menunjukkan senyumnya disertai lesung pipitnya
yang manis.
“Sama-sama
Dita.” Aku pun membalas senyumnya.
Akhirnya
aku bisa melihat senyumnya kembali. Mempunyai sahabat kutu buku sepertinya
membuatku semakin sering mengunjungi perpustakaan sekolah. Aku yang mulanya
tidak gemar membaca, kini aku tertular kebiasaannya gemar membaca. Mulai saat itu,
aku lebih banyak membaca dan mengoleksi antologi cerpen.
Kebiasaanku
mengunjungi perpustakaan membuatku sering melewati kelas X MIA 3. Tak ku
sadari, aku mulai memperhatikan seseorang yang belum ku tahu namanya. Setiap
kali ke perpustakaan, aku selalu memperhatikannya dari kejauhan. Entah dia
menyadarinya atau tidak aku tak peduli.
Suatu
hari, aku beranikan diri bertanya kepada anak kelas X MIA 3, Lala. Aku memilih
bertanya kepada Lala karena aku yakin dia bisa menjaga rahasia. Ku bertanya
padanya sambil menunjuk seseorang yang ku maksud, “Lala, teman kamu yang itu
namanya siapa?”
“Yang
mana? Yang itu? Namanya Didi” Jawab Lala dengan tangannya yang menunjuk orang
yang ku maksud.
“Hey,
tangan kamu gak usah nunjuk-nunjuk gitu. Ternyata namanya Didi, ya udah aku mau
balik ke kelas dulu.” Aku menuju kelasku dengan terburu-buru, takut kalau
ternyata Didi menyadari aku menanyakan namanya kepada Lala.
“Iya,
jangan lari-lari. Padahal kelas X MIA 1 sama kelas X MIA 3 kan jaraknya tidak
terlalu jauh, kok Tara sampai cepet gitu larinya”
Aku
terlalu cepat berlari meninggalkan Lala sampai tidak menggubris kata-kata yang
ia ucapkan. Sesampainya di kelas, aku tersenyum sendiri layaknya orang yang
sedang mendapatkan hadiah mobil dari suatu bank ternama. Ternyata senyumanku
ini membuat Dita heran, dia langsung menanyakan apa yang terjadi padaku.
Akhirnya aku menceritakan semuanya kepada Dita. Dan dia juga hanya bisa
tersenyum ketika melihat sahabatnya seperti ini.
Tak
kusadari, ternyata Bapak Budi telah berada di depanku untuk menyampaikan
pelajaran hari ini. Aku mencoba memusatkan pikiranku pada pelajaran kali ini,
aku berusaha menghilangkan semua yang aku pikirkan tadi. Tapi rasanya itu
sangat sulit, bagaikan menghabiskan air di lautan yang sangat luas. Aku tak tau
mengapa kejadian itu sangat melekat pada otakku, padahal itu cuma masalah
sepele. Hanya mengetahui namanya saja aku sudah senang, apalagi bisa berkenalan
dengannya. Tak bisa kubayangkan semerah apa wajahku saat bekenalan dengannya.
***
Tak
sengaja aku pulang bersama Didi, akhirnya aku mengumpulkan semua keberanianku
untuk mengawali pembicaraan. Aku tak tau harus memulai dengan abjad apa, kata
apa, kalimat yang bagaimana. Aku mulai memutar otak dan berpikir. Setelah ku
pikir-pikir, aku akan mengawalinya dengan tanya namanya terlebih dahulu.
Mungkin agak terkesan kaku, tapi bagaimana lagi, aku harus mencobanya karena
kesempatan yang sama tak akan datang dua kali.
“Hai,
kamu Didi kelas X MIA 3 kan?” tanyaku agak gugup. Mungkin mukaku mulai memerah
juga.
“Iya,
kamu Tara kelas X MIA 1 kan?” jawab Didi secepat kilat.
“Ternyata
kamu tau aku, ku kira kamu orangnya gak mau tau sama orang lain.” Rasanya aku
ingin terbang menuju langit ke 7, mungkin karena terlalu bahagia dikenal oleh
seseorang yang selama ini aku perhatikan dari kejauhan.
“Ya
jelas tau lah, kamu itu hampir tiap hari ke perpustakaan lewat depan kelasku.
Rajin banget jadi anak sekolah.” Didi tersenyum padaku sambil menunjukkan
giginya yang berbaris rapi.
“Dulu
aku cuma nemenin temenku cari buku di perpustakaan, lama-kelamaan aku juga ikut
mempunyai hobi membaca. Jadinya aku sama dia hampir tiap hari ke perpustakaan
buat baca buku.” jawabku sambil melihat ke bawah karena aku tak berani menatap
matanya.
“Menurutku,
membaca itu membuat jenuh dan bosan. Melihat segerombol kata sambil duduk diam.
Itu sungguh tidak menyenangkan.” Didi seolah menunjukkan ekspresi yang tidak
enak dipandang mata.
“Aku
dulu juga beranggapan sepertimu, tetapi setelah terbiasa itu menjadi hal yang
menyenangkan. Apalagi jika cerpen yang kamu baca hampir mirip dengan kisahmu,
pasti bakal lebih semangat baca cerpennya.”
Di
perjalanan pulang sekolah, aku bercerita banyak. Tentang teman-temannya di
kelas X MIA 3, tentang sekolahnya di SMP dulu, tentang beberapa materi
pelajaran yang menurutnya agak membosankan, dan masih banyak lagi. Tak kusangka
perkenalanku dengannya bisa langsung sedekat ini. Ku rasa, aku mulai menyukai
seorang Didi Wibowo kelas X MIA 3. Mungkin memang namanya terlihat singkat dan
kuno untuk anak-anak jaman sekarang yang namanya bisa sampai sepanjang jalan
raya Pati hingga Tayu. Aku bingung luar biasa, aku terus berpikir apa yang
membuatku menyukainya. Tetapi aku tak menemukan jawaban juga, mungkin memang
benar, cinta tak butuh alasan. Hanya hati yang mampu merasakannya.
Sosok
laki-laki yang berpostur tubuh tegap, tingginya sekitar 165 cm, berhidung tak
terlalu mancung, bermata sipit, bergigi rapi, dan lengkungan senyumnya yang
selalu mengingatkanku padanya. Senyum itulah yang membuatku tak bisa mebuang
jauh-jauh dirinya dari ingatanku. Semenjak hari itu, senyumnya selalu menjadi
salah satu sumber energiku. Gemerlapnya pertemuan
ini menghasilkan ledakan yang tidak bisa ku atasi. Sungguh, seorang Didi Wibowo
telah memenuhi setiap sudut hatiku.
Sesampainya
di rumah, aku selalu teringat kejadian yang aku alami tadi. Aku menyanyikan
lagu ke sana ke mari tanpa menghiraukan orang di sekitarku. Walaupun suaraku
pas-pasan, tapi aku tak peduli. Yang penting aku bisa mengekspresikan suasana
hatiku lewat lagu tersebut agar merasa lega. Aku bernyanyi sambil memainkan
ponselku untuk membuka jejaring sosial facebook
yang kini sedang marak-maraknya digunakan oleh remaja sepertiku. Saat aku menemukan
nama Didi Wibowo dalam daftar orang yang sedang online, hatiku ingin sekali berkirim pesan dengannya, tetapi
tanganku seolah berkata lain. Aku bimbang harus menuruti kata hatiku atau
tanganku. Akhirnya aku putuskan untuk mengirimi pesan.
Ketika
aku baru mengetik abjad yang kedua, kulihat kamu sudah offline. Akhirnya ku urungkan niatku untuk berkirim pesan denganmu.
Segudang penyesalan kini memenuhi otakku, andai saja aku mengirimimu pesan
lebih cepat tadi. Mungkin memang belum waktunya, kan ku tunggu saat namamu
kembali muncul dalam daftar orang yang sedang online. Dan akan ku kirim pesan untukmu.
Seperti
biasa, karena aku seorang pelajar, tugasku hanyalah belajar. Saat malam seperti
ini, aku harus mengerjakan segudang tugas yang diberikan oleh guru-guruku.
Hanya melihatnya saja aku sudah merasa malas memegangnya, apalagi
mengerjakannya. Rasanya aku ingin berteriak sekuat tenagaku hingga seluruh dunia
mendengarnya. Tetapi kembali lagi, karena aku seorang pelajar, aku harus bisa
mengerjakan semua tugas ini.
Aku
mulai mengumpulkan semangatku, perlahan ku pegang pena untuk mengerjakannya.
Bagaikan prajurit yang hendak perang dengan musuhnya, aku bertekad bisa
mengalahkan tugas ini secepatnya. Karena aku yakin, jika menunda-nunda
pekerjaan, pasti akan ada pekerjaan lagi yang datang menghampiri. Dan pada
akhirnya, akan semakin banyak tugas yang menumpuk. Ketika mengerjakan tugas,
sesekali aku melihat ponselku dan membuka akun facebook milikku. Sungguh, aku tak bisa jauh-jauh dari ponsel
walaupun saat belajar. Jika saat belajar di sampingku tidak ada ponselku, aku
malah tidak bisa serius belajar. Memang, teknologi sudah mengubah segalanya,
contohnya gaya hidup seseorang. Aku yang dulunya tidak punya ponsel saja tidak
ada masalah apa pun. Tetapi jika sekarang aku tidak punya ponsel, aku akan
sangat gelisah memikirkannya.
Beberapa
saat kemudian, aku merasa jenuh melihat deretan abjad yang memerlukan jawaban
tidak hanya satu atau dua kalimat. Kemudian aku memilih untuk keluar rumah dan
memandangi bintang yang bertaburan di langit. Kegiatan seperti inilah yang
sering ku lakukan agar dapat menghilangkan rasa jenuh. Seringkali aku
menghubungkan beberapa bintang agar membentuk pola sesuai imajinasiku. Kali ini
aku tak menyangka, aku mengucek mataku beberapa kali. Ku yakinkan diriku
sendiri. Tak ku sangka, yang ku lihat di langit tersebut adalah wajah Didi, dia
seolah sedang tersenyum padaku sambil mengerdipkan matanya. Sungguh imajinasi
yang berlebihan. Lucu sekali, wajahnya seperti mengikuti setiap waktu.
Saat
aku mulai mengantuk, aku kembali masuk ke kamar. Tiba-tiba aku teringat pada
tugasku yang belum sempat terselesaikan semuanya. Akhirnya aku berusaha membuka
kedua mataku lebar-lebar agar bisa segera menyelesaikannya. Setelah beberapa
menit berjalan, tugasku telah selesai semua, ku putuskan untuk lekas tidur.
Agar esoknya aku tidak bangun terlalu siang.
***
Aku
bangun pagi-pagi sekali, aku mulai menyiapkan perlengkapan yang akan aku bawa
ke sekolah nanti. Segera aku mandi agar nantinya tidak terlambat saat sampai
sekolah. Aku serasa mandi di Kutub Utara, airnya sedingin es, hingga dingginnya
bisa menusuk tulang bagian paling dalam. Setelah selesai mandi, berganti baju,
dan sarapan, aku mulai mnggendong tas punggungku dan berpamitan kepada kedua
orang tuaku.
Sesampainya
di kelas, Dita sudah berada di tempat duduknya. Aku segera meletakkan tasku di
tempat dudukku yang jauh dari tempat duduk Dita. Jika tempat dudukku tidak
berdekatan dengan Dita, aku lebih bisa serius memperhatikan pelajaran. Karena
kalau aku bersamanya, aku bisa meluapkan segala yang ada di pikiranku saat itu
juga. Aku akan menjadi orang cerewet yang berbicara dengan kecepatan 250
kilometer per jam, hingga orang yang aku ajak bicara tidak tau apa yang aku
bicarakan tadi. Akhirnya aku menghampirinya dengan memasang ekspresi yang
bahagia.
“Kamu
kenapa, Ra? Wajahmu pagi ini berseri-seri sekali.” Dita terlihat heran dengan
ekspresi yang aku tunjukkan.
“Aku?
Gak kenapa-kenapa kok. Wajahku juga seperti biasanya.” Aku berusaha meyakinkan
Dita agar ia tidak penasaran.
“Ah
gak usah bohong, aku itu tau kamu banget. Ada apa sih? Cerita sedikit boleh
kan?” Dita berusaha merayuku.
“Minta
diceritain sedikit? Okeh, ceritanya gini, aku gak ada apa-apa kok. Kamu aja
yang sok tau.”
“Gak
lucu ah, cepet ceritain yang sejujur-jujurnya!” jawab Dita dengan nada tinggi.
“Jadi
begini, kemarin aku pulang bareng Didi, terus aku cerita banyak sama dia.
Orangnya enak diajak ngobrol lho. Terus setelah aku sampai rumah, wajahnya itu
serasa menghantui pikiranku setiap saat. Aku hampir tidak bisa berkonsentrasi
belajar tadi malam.” Karena usahaku berbohong pada Dita tidak berhasil,
akhirnya aku menceritakan padanya.
“Cieee…
Jangan-jangan sebenarnya dia juga mempunyai perasaan kepadamu?”
“Itu
tidak mungkin.” Aku berusaha mengelak dari perkataan Dita.
“Bisa
jadi lho. Buktinya kemarin kamu ditemenin pulang. Jarang-jarang Didi pulang
bareng temen perempuannya.” Dita seolah menunjukkan ekspresi yang berusaha
meyakinkanku.
“Ah
tidak, mungkin saja dia pernah pulang bareng temen perempuannya, tapi kamu
tidak tau. Aku tak mau salah mengartikan sikapnya, mungkin saja dia bersikap
seperti itu kepada semua temen peempuannya. Kan kita gak tau.” Aku tak mau
terlihat sangat mengharapkan Didi di depan Dita.
“Ya
udah, kita tunggu aja apa yang akan terjadi selanjutnya. Kita buktikan siapa
yang benar, oke!” Dita memasang ekspresi penuh percaya diri.
“Oke!”
jawabku sambil mengerdipkan mata.
Ku
lihat jam dinding menunjukkan pukul 7 tepat. Tiba-tiba bel masuk berbunyi, aku
segera duduk di tempat dudukku dan bersiap menerima pelajaran untuk hari ini.
***
Pelajaran
pagi ini terasa berlalu begitu cepat, mungkin memang aku yang terlalu
bersemangat hari ini. Dan akhirnya yang ditunggu oleh para siswa pun datang,
yaitu saat pulang. Setelah bel empat kali berbunyi, siswa-siswi berhamburan
keluar kelas sambil menenteng sepatu yang diambilnya dari rak sepatu depan
kelasnya masing-masing. Begitu juga aku, setelah selesai memakai sepatu, aku
pulang sendirian. Awalnya aku ingin mengajak Dita pulang, tetapi ternyata dia
ada acara mengerjakan tugas kelompok dengan Liana. Aku pun melewati jalan penuh
debu yang dilewati oleh kendaraan-kendaraan bermotor dan truk-truk pengangkut
tebu. Setelah ku lihat ke depan, ternyata ada Didi yang tengah berjalan.
Sebenarnya aku ingin menghampirinya, tetapi aku tak cukup berani untuk
melakukan itu.
Akhirnya
aku memperlambat langkahku agar jarakku dengan Didi semakin bertambah. Tapi
setelah Didi menengok ke belakang, dia melihatku. Didi pun menghentikan langkahnya
dan menungguku berjalan.
“Hai,
kok malah berhenti sih.” Aku menyapa Didi dengan kata yang terkesan sederhana.
“Aku
kan nungguin kamu. Rasanya kasihan ngelihat kamu berjalan sendiri kayak orang
hilang.” Ledeknya sambil menjulurkan lidahnya yang panjang.
“Aku
kan gak anak kecil lagi, yang takut pulang sekolah sendirian.”
“Mentang-mentang
udah SMA, gak mau dikatain anak kecil lagi.”
“Ya
iyalah, gini-gini aku udah umur 16 tahun lho.”
“Ngaku-ngaku,
masih 15 tahun lah. Ulang tahunmu kan tiga bulan lagi.”
“Ya
nggak apa-apa, tinggal sebentar lagi kok.”
Selama
perjalanan pulang, kita saling mengejek. Aku nyaman dengan posisiku saat ini,
hanya menjadi seseorang yang kadang berada di dekatmu, sambil mendengarkan
merdunya suaramu dan renyahnya tawamu. Aku tak ingin lebih, bisa bersamamu
seperti ini saja aku sudah bersyukur.
“Terima
kasih udah nganterin aku pulang.” Ucapku di depan pintu pagar rumahku.
“Siapa
juga yang nganterin kamu pulang, cuma gak sengaja nemenin aja kok.”
“Iya-iya
aku tau, sampai jumpa besok.”
“Iya.”
Didi memperlihatkan lengkungan bibir yang membentuk senyum manisnya itu.
Segera
ku buka pintu rumah, ku letakkan sepatu di raknya, ku cuci tangan dan kakiku,
lalu masuk kamar. Aku tak menyangka dia tau jika aku berulang tahun 3 bulan
lagi. Rasanya hati ini berbunga-bunga. Tapi setelah dia mengatakan bahwa dia
tidak sengaja nemenin aku pulang sekolah, rasanya hati ini seperti teriris.
Kali ini aku berusaha meyakinkan diriku, bahwa hanya aku yang menyukainya,
sedangkan dia tidak menyukaiku.
Bahkan
akhir-akhir ini, aku juga mendengar gosip bahwa Didi menyukai teman sekelasnya.
Aku tak tau siapa orang itu dan kebenaran tentang gosip tersebut. Yang jelas,
gosip itu membuatku semakin yakin bahwa ia tidak mempunyai perasaan apapun
terhadapku. Aku memang bukan siapa-siapa baginya, tapi rasa cemburu yang
membakar hatiku sungguh tak bisa ku tutupi. Tanpa sadar air mataku pun
perlahan-lahan membasahi pipiku. Aku tak tau mengapa aku bisa se-cengeng ini
sekarang, padahal dulu aku jarang sekali menangis.
Tak
lama kemudian, nama Didi muncul dalam daftar pesan facebook. Aku tak yakin seorang Didi berkirim pesan facebook denganku. Aku pun mulai
tersenyum dan mengusap air mataku. Kata-katanya jauh berbeda, di facebook ia banyak menggeluarkan
kata-kata gombal yang membuatku semakin bingung. Sungguh aku takut salah
mengartikan semua kata-kata dan sikapmu selama ini.
Setelah
hari itu, aku dan Didi mulai sering berkirim pesan facebook. Kata-katanya kadang membuatku ingin melayang, tapi
terkadang juga membuatku seperti disambar petir. Semua ini membuatku pusing
tujuh keliling. Sekarang, aku sedang ketakutan. Aku takut kamu pergi ketika aku
mulai meletakkanmu di sudut hatiku paling dalam.
Sekarang,
pesan facebook dari Didi seakan
menjadi candu bagiku. Rasanya ada yang hilang jika sehari saja kita tidak
berkirim pesan. Semoga saja bukan hanya aku yang merasakan candu ini. Aku ingin
dia juga sepertiku yang selalu merindukannya setiap waktu. Berkenalan dengannya
ternyata bukan hal yang mudah. Aku merasa dia terlalu sempurna untukku. Aku
hanya bisa melamunkan suatu hari nanti kita bisa lebih dari sekedar teman
bercanda. Mungkin itu tak akan terjadi, karena aku sadar bahwa aku bukan
siapa-siapa di matanya.
***
Tiga
bulan telah berlalu, hari ulang tahunku sudah di depan mata. Aku ingin Didi
adalah orang pertama yang mengucapkan selamat atas bertambahnya umurku. Sungguh
kali ini aku sangat berharap. Aku tidak meminta dianggap sebagai seorang yang
istimewa, aku cuma meminta ucapan selamat darinya, itu saja sudah lebih dari
cukup. Semoga saja, hari yang hanya datang setahun sekali ini akan menjadi hari
yang indah. Esok hari adalah hari yang kutunggu, hari dimana aku sudah berumur
16 tahun. Saat aku membuka mataku esok hari, aku harap ucapan dari Didi sudah
dikirimkan melalui pesan facebook atau
media yang lain.
Ketika
aku membuka mataku pagi-pagi sekali sebelum ayam berkokok, aku segera mengambil
ponselku. Ku lihat tidak ada pesan apapun dari Didi. Sungguh, rasanya seperti
ditusuk-tusuk dengan anak panah. Mungkin memang aku yang berharap terlalu
tinggi padanya. Ingin ku salahkan diriku sendiri, mengapa aku mengharapkan hal
yang tidak akan mungkin terjadi. Menjadi orang pertama yang mengucapkan selamat
ulang tahun? Itu hanyalah mimpi semata. Pada kenyataannya, semua sungguh
berbeda 180 derajat. Beberapa jam kemudian, datanglah ucapan darinya, sangat
singkat tapi cukup berkesan bagiku. Deretan huruf H, B, dan D itu terlihat
berkesan karena pengirimnya adalah seseorang yang istimewa yaitu Didi Wibowo.
Segera
aku siap-siap untuk pergi ke sekolah. Banyak orang memberikan ucapan selamat
dengan berbagai embel-embel doa yang menyertai. Aku juga menceritakan pada Dita
sahabat karibku tentang harapanku yang tidak terwujud.
“Sabar,
Ra. Kebanyakan laki-laki emang gitu. Kurang peka terhadap perasaan orang lain.”
“Iya,
memang aku yang berharap terlalu tinggi. Aku tak menyadari posisiku sekarang
hanyalah teman bercanda baginya, tidak lebih.” Aku mencoba memberikan tawa
palsuku pada Dita.
“Mungkin
saat ini memang hanya teman bercanda, tapi besok-besok kan bisa jadi lebih.”
“Ah
sudahlah, aku tidak mau mengharapkan sesuatu yang tak pasti lagi.”
Andaikan
aku laki-laki, aku akan mengungkapkan perasaanku segera. Namun sayang, aku
hanya seorang perempuan. Di negaraku, kebanyakan perempuan itu gengsi jika
mengungkapkan perasaan terlebih dahulu. Akhirnya aku mengikuti adat istiadat
yang ada. Memendam perasaan yang sama sulitnya dengan memecahkan soal
matematika rumit yang memerlukan rumus panjang serta logika yang bagus.
***
Beberapa
bulan kemudian, hubunganku dengan Didi memang sangat dekat. Kita saling berbagi
cerita lewat BlackBerry Messenger
yang sekarang bisa digunakan lewat Android. Jika dikatan teman dekat, mungkin ini lebih
dari sekedar teman dekat. Aku tak tau harus mendefinisikan seperti apa hubungan
kita selama ini. Suatu ketika, Didi mengirimkan secarik lirik lagu padaku.
Walaupun hanya berupa deretan huruf, aku sudah cukup senang. Aku pernah meminta
untuk dinyanyikan sebuah lagu, tapi ia menolak permintaanku tersebut. Aku terus
memaksanya, tapi usaha yang kulakukan tetap tidak memberikan efek apapun
padanya. Ia tetap pada keputusannya, yaitu menolak permintaanku.
Tak
sengaja saat aku melihat pembaruan, aku melihatnya bersahut-sahutan Personal Message yang biasa disingkat PM
dengan Bela. Aku tak tau apa yang menyebabkannya, jika dilihat dari
kata-katanya itu cuma kata-kata biasa, tapi yang jelas aku sungguh terbakar api
cemburu. Tak sengaja air mata jatuh bercucuran membasahi pipiku. Air mata itu
jatuh bukan karena inginku, tapi karena perasaanku. Tisu pun menjadi sahabat
yang setia menemaniku di saat-saat seperti ini.
Aku
juga hanya membalas BlackBerry Messagemu
dengan 1, 2, atau 3 huruf saja. Akhirnya dia bertanya mengapa aku bersikap
seperti itu. Aku tak ingin mengatakan apa yang sebenarnya terjadi padaku. Aku
ingin doa menyadarinya sendiri, menyadari bahwa sesungguhnya aku cemburu. Aku
tak tau, semenjak mengenalmu, aku banyak merasakan bahagia, tapi juga banyak
merasakan kepedihan mencintai.
Suatu
hari, Didi mengungkapkan padaku tentang perasaanya. Dia mengatakan bahwa
sebenarnya ia juga menyukaiku. Aku sungguh senang mendengarnya, tetapi
kebahagiaan itu tidak berlangsung lama setelah mendengar bahwa ia akan pindah
ke luar kota. Bagaikan disambar petir. Aku tak bisa membayangkan tiap hari
tanpa melihat senyumnya yang selalu aku cari setiap pagi. Aku sangat terluka
mengetahui kamu tak akan pernah jadi siapa pun, aku juga tak akan pernah jadi
siapa-siapamu. Tapi aku yakin, jika memang jodoh, kita akan dipertemukan
kembali oleh Yang Maha Kuasa di waktu yang tepat dan tempat yang tak pernah
kita bayangkan.
Terima
kasih Pangeran pengundang tawa dan tangisku. Aku bersyukur bisa mengenalmu,
mencintaimu, memimpikanmu, ataupun hanya sekedar membawa namamu dalam doa.
Semoga kita bertemu di lain waktu. J
0 komentar:
Posting Komentar